Home » Review A Thousand Splendid Suns – Cinta dan Harapan di Negeri Afghan

Review A Thousand Splendid Suns – Cinta dan Harapan di Negeri Afghan

Review a Thousand Splendid Suns

Review a Thousand Splendid Suns ini saya tulis dari kacamata seorang Sunni, yang membuat saya getir dan marah karena beberapa hal yang diceritakan di sini tentu saja sangat menyudutkan Sunni. Namun, di luar itu semua tulisan yang disajikan oleh Khalid Hosseini memang jadi sihir yang selalu tidak mudah terlupakan.

Review A Thousand Splendid Suns

Jadi dalam novel ini dikisahkan seorang gadis Afghanistan yang lahir di tengah-tengah masyarakat yang saat itu dinilai sangat baik. Perempuan masih diperboleh sekolah hingga Perguruan Tinggi bahkan, keluar kemanapun kau pergi pasti aman. Meskipun dinding yang memisahkan antara si kaya dan si miskin begitu tebal seolah tak tertembus.

Maryam, gadis ini lahir di tengah keluarga terpandang dan kaya raya. Namun sayangnya, kelahirannya tidak diinginkan oleh siapapun, karena ia keluar dari rahim seorang pembantu yang dihamili oleh majikannya sendiri.

Bagaimanapun kelahiran gadis yang dinamakan Maryam ini adalah aib bagi semua orang di pedesaan tersebut. Akhirnya Ayah dan Ibu Maryam sepakat untuk menjauh dari rumah keluarga bangsawan tersebut. Ayah Maryam yang selalu diagung-agungkan oleh Maryam karena kasih sayangnya tersebut tak pernah absen mengunjungi Maryam dan Ibunya di pinggiran kota, jauh dari hiruk pikuk perkampungan warga.

Adapun Ibu Maryam selalu diliputi rasa rendah diri dan kecurigaan pada Ayah Maryam. Ia selalu menanamkan pada Maryam bahwa gadis tersebut adalah anak haram yang tidak diinginkan. Maryam tidak akan bisa hidup tanpa Ibunya, Maryam tidak akan bisa menikmati apa yang ada di bawah sana (perkotaan), Maryam adalah aib bagi keluarga mereka, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat kasar yang sering dilontarkan padanya dari Ibunya sendiri. Bahkan untuk pergi ke sekolah pun Ibunya tak mengizinkan Maryam.

Hati pria sangat berbeda dengan rahim Ibu, Maryam. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu. Hanya akulah yang kau miliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tak berarti!

Kalimat tersebut atau bahkan yang lebih kasar lagi sering sekali diucapkan Ibunya setiap kali Maryam bersikeras ingin berjumpa dengan Jalil, ayah yang tak pernah secara sah mengakuinya sebagai anak.

Suatu hari Maryam nekat menemui Ayahnya di rumah yang pernah diceritakan oleh Ibunya. Rumah yang besar dengan pagar tinggi menjulang serta penjaga di depannya. Namun siapa sangka, Ayahnya justru tak mau menemuinya di sana hingga Maryam terpaksa bermalam dan kedinginan di jalanan.

Kenekatan Maryam tersebut rupanya harus dibayar dengan sangat mahal. Karena sepulangnya dari rumah Jalil secara diam-diam, Maryam menemukan Ibunya tewas gantung diri di dalam rumahnya.

Sontak kehidupan Maryam pun berubah. Karena kini ia sendiri, dengan sangat terpaksa Jalil mengambil Maryam dan mengurungnya di kamar selama beberapa hari. Hingga kemudian menikahkannya secara paksa dengan laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali sebelumnya.

Secara halus, Ayah Maryam ingin melepaskan tanggung jawab pada lelaki lain dengan menikahkan Maryam. Begitu menikah dengan tangisan yang pilu, Maryam dibawa jauh dari Herat menuju ke Kabul.

Maryam yang tak pernah sekolah hanya di awal-awal pernikahan saja merasa bahwa suaminya adalah pria baik yang seolah menjadi penolong bagi dirinya yang terbuang. Namun siapa sangka, suaminya ini adalah laki-laki yang suka memukul, perkataannya kasar ketika apa yang ia inginkan tidak bisa dipenuhi oleh Maryam. Pokoknya red flag banget lah.

Maryam yang lugu selalu menjadi “samsak” bagi suami yang terlihat “shaleh” di luar namun “bejat” di dalam rumah.

Sementara itu, dikisahkan terpisah seorang gadis bernama Laila yang dibesarkan di tengah keluarga yang harmonis, demokratis dan berpendidikan di tengah kota Kabul. Usut punya usut rumah Laila ini tak jauh dari rumah Maryam dan suaminya. Namun umur mereka terpaut jauh. Saat Maryam berusia sekitar 15 tahun dan pertama kalinya menjejakkan kaki di Kabul, Laila masih berumur 3 tahun.

Saat itu takdir membawa Laila remaja ke rumah Maryam dalam kondisi yang mengenaskan. Laila adalah korban dari bom yang dijatuhkan oleh Rusia di kawasan tersebut untuk “membasmi” Taliban.

Singkat cerita, Laila diselamatkan oleh suami Maryam yang teman-teman tahu lah ya arahnya bakal kemana. Hingga akhirnya Laila yang sudah kehilangan kedua orangtuanya di peristiwa pengeboman tersebut terpaksa menjadi madu dari Maryam.

Penggambaran Penderitaan Perempuan di Negeri Afghan

Nah, dari sini nih saya mulai kesal dengan penulisnya yang saya percaya banget beliau tidak melihat dari dua sudut pandang ketika perang di Afghanistan terjadi.

Saya tahu beliau sudah melalui banyak riset dan mungkin saja banyak hal di Afghanistan (negeri asalnya), namun Khaled adalah warga negara Amerika sekarang, teman-teman bisa dong nebak kemana ia berpihak? Bodo amat lah kalau saya dikatakan konservatif, nyatanya justru novel ini kalau dibaca baik-baik menyudutkan satu pihak tanpa melihat bagaimana pihak tersebut memperjuangkan tanah airnya sendiri.

Khaled menggambarkan bagaimana Taliban yang mengambil alih Afghanistan di tahun 1997 saat itu adalah pihak yang sangat kejam, tidak manusiawi, tidak memihak perempuan dan juga kelompok radikal konservatif yang harus diperangi, tentu saja kita tahu negara mana yang memerangi Taliban dengan dalih “membantu rakyat”.

Alih-alih membantu rakyat seperti yang dikatakan Amerika, mereka justru menciptakan luka dan sampai sekarang tak kunjung terselesaikan, entah kapan meledak dan bisa saja perang saudara terjadi lagi. Kalau Khaled cinta tanah air, tentu ia akan kembali membela dan membangun negaranya, bukannya tinggal di Amerika dengan segala kemewahannya kan? Hehehe..

sinopsis a thousand splendid sunsreview a thousand splendid suns

Kita akan dipaksa memaklumi serangan Amerika dan sekutunya di Afghanistan karena Taliban yang mengambil alih Kabul dan memberlakukan hukuman cambuk, hukum potong tangan, Qishas (kematian dibalas dengan kematian dengan hukum penggal) yang akan selalu dipertontonkan di khalayak umum dengan maksud semuanya akan jera dan tak akan melakukan dosa-dosa yang mendatangkan hukum syariat tersebut harus dilaksanakan.

Para perempuan tidak boleh pergi kemanapun tanpa didampingi mahramnya. Perempuan tak boleh pergi sekolah. Perempuan tak punya hak untuk bersuara, dan masih banyak lagi hal-hal kejam yang digambarkan oleh sang penulis dalam novel ini.

Banyak media yang mengatakan hal tersebut adalah benar. Namun tetap saja, saya masih penasaran dan ingin melihat sisi lain nilai-nilai Islam yang diterapkan di Afghanistan tersebut dari kacamata seorang Sunni, seorang yang adil dan bisa melihat kebaikan dari hukum yang dijalankan di sana.

Andai buruk, tentu Amerika tak berhak ikut campur menghancurkan banyak sekolah, tempat ibadah, hingga rumah-rumah penduduk di sana. Ah, hati saya campur aduk membaca ini. Cukuplah kisah Maryam dan Laila dalam novel ini sebagai hiburan saja, bukan sebagai rujukan untuk mengingat sebuah sejarah kelam.

Semoga bermanfaat! Simak juga review buku keren lainnya di sini ya!

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *