Di tengah hiruk pikuk ajakan untuk meningkatkan minat baca dan menyebarkan kebiasaan membaca buku—di kalangan masyarakat Indonesia—, saya justru merasa bahwa masyarakat Indonesia, termasuk para pembaca buku itu sendiri, nyatanya belum sepenuhnya siap memberi ruang yang nyaman bagi para pembaca buku. Pasalnya, sampai hari ini masih sering muncul aturan-aturan kaku yang membuat kegiatan membaca buku jadi terasa merepotkan.
Kalian tentu sudah pernah mendengar atau membaca perdebatan perihal genre buku. Misalnya, perdebatan tentang membaca nonfiksi lebih baik dibanding membaca fiksi. Persoalan ini memang masalah klasik yang masih terus ada entah sampai kapan. Ya, kurang lebih sama lah seperti ribut-ribut tentang orang dewasa yang masih membaca komik.
Lalu, ada lagi perihal ebook vs buku fisik. Sampai saat ini saya masih heran kenapa masalah ini terus mencuat? Alih-alih “diversuskan”, kenapa sih tidak memilih untuk menjadikannya saling melengkapi?
Ruang Nyaman Pembaca Buku, ebook vs Buku Fisik
Saya pembaca keduanya, ebook maupun buku fisik. Meski sudah terbiasa membaca ebook, saya pribadi tidak pernah menganggap bahwa ebook hadir untuk menggantikan posisi buku fisik. Bagaimana pun, buku fisik tidak akan tergantikan. Ebook justru hadir saat buku fisik terasa sulit untuk dijangkau.
Maksud saya begini, adalah hak bagi setiap orang untuk menentukan apakah lebih suka membaca ebook, buku fisik, ataupun keduanya. Saya pribadi tidak mempermasalahkan hal tersebut. Yang jadi masalah kemudian adalah ketika ada yang merasa superior dengan pilihannya lalu ngejudge pilihan orang lain. Dalam hal ini, saya pernah dianggap bukan pembaca buku sungguhan karena terlalu sering membaca ebook. Katanya lagi, buku ya buku, ebook ya ebook, hemm…
Selain itu, masih ada persoalan lain lagi. Pertama tentang cara menganotasi buku. Anotasi dalam KBBI berarti catatan yang dibuat oleh pengarang atau orang lain untuk menerangkan, mengomentari, atau mengkritik teks karya sastra atau bahan tertulis lain.
Perihal anotasi, entah sudah berapa kali saya menemukan akun-akun, kalau tidak bisa dibilang orang-orang, yang memberi label psikopat kepada orang-orang yang suka menganotasi halaman tertentu pada sebuah buku dengan cara diberi stabilo atau “dicoret-coret”. Memberi tulisan pada halaman buku dianggap sebagai dosa besar.
Saya pribadi adalah tipe pembaca yang suka menganotasi buku dengan cara yang katanya adalah comtoh “psikopat”. Padahal saya tidak menemukan di mana letak kesalahan dari kebiasaan saya tersebut. Toh, yang saya “coret-coret” adalah buku saya sendiri. Buku milik pribadi. Atas dasar apa orang-orang lantas menganggap saya psikopat?
Kedua, tentang kebiasaan membeli buku preloved alias buku bekas. Kebiasaan membeli buku bekas dianggap akan mengganggu peredaran buku.
Hal ini benar-benar mengganggu pikiran saya sebagai seorang pembaca buku berstatus sobat misqueen.
Begini, selain sobat misqueen, saya juga adalah warga Makassar yang tentu sudah kita ketahui bersama bahwa harga bukunya berbeda jauh dengan harga di Pulau Jawa. Sering sekali saya harus menunggu sedikit lebih lama setelah sebuah buku terbit, karena kondisi perekonomian yang tidak berbanding lurus dan minat baca saya.
Lalu, ketika membeli buku pre loved dianggap salah, apa lagi yang harus saya lakukan? Beli bajakan pun jelas jauh lebih salah dan tidak lagi pernah terpikirkan oleh saya untuk melakukannya (ya, dulu ketika saya baru awal suka baca buku, saya tidak tahu apa itu buku bajakan. Setelah tahu, tentu saya berkomitmen untuk tidak mengulangnya lagi).
Saya paham bahwa di balik sebuah buku, ada banyak tangan dan kepala yang terlibat. Penulis buku itu sendiri kadang butuh waktu yang tidak sebentar dalam menghasilkan sebuah buku. Membeli preloved artinya tidak ada royalti yang masuk. Namun, apakah itu berarti tidak boleh ada aktivitas jual beli preloved? Bagaimana dengan orang-orang yang seperti saya? Tidak adakah solusi lain selain melarang?
Masalah lain juga muncul dalam hal target membaca buku. Di luar sana, tidak sedikit orang yang suka membuat target untuk dirinya sendiri, tahun ini akan baca berapa banyak buku.
Lagi-lagi, ini adalah persoalan pribadi, tetapi ada orang yang merasa perlu sekali untuk menilai. Membaca buku itu bukan soal kuantitas, tetapi kualitas. Ya memangnya apa indikatornya bahwa mereka yang membaca banyak buku berarti hanya sekadar membaca tanpa mementingkan kualitas?
Ribut-ribut perihal aktivitas membaca buku maupun buku itu sendiri, rasanya sudah seperti bagian tak terpisahkan dari ajakan meningkatkan minat baca.
Orang-orang diajak bergabung, tetapi tidak semuanya diberi ruang nyaman. Katanya hanya butuh satu buku untuk jatuh cinta pada membaca, tetapi ketika seseorang menemukan cinta itu dari buku “menye-menye”, maka harus siap-siap menerima penghakiman.
Katanya, buku itu harus dibicarakan. Namun, ketika buku diunggah di media sosial, masih ada yang menganggapnya sekadar pamer belaka, pengen dilihat keren karena baca buku. Padahal, kehadiran buku di media sosial justru membuat perjalanan buku jadi lebih jauh.
Mirisnya lagi, dalam banyak kesempatan, yang saling ribut tentu saja adalah para pembaca buku itu sendiri. Kalau sudah begini, apakah membaca buku memang hanya sekadar membaca?
Author :
Seorang ibu yang suka membaca dan sedang belajar menulis. Blasteran Jawa-Toraja, yang bisa disapa lewat IG dan Twitter @utamyyningsih