Home » Review Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati By Brian Khrisna

Review Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati By Brian Khrisna

seporsi mie ayam sebelum mati

Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati ini sempat mampir di beranda, di ecommerce- bahkan saat pergi ke toko buku beberapa waktu lalu juga sering saya lirik. Namun hati belum tergerak untuk beli dan baca. Karena sempat mengira “ah kayaknya ini kisahnya sama kayak I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki“. 

Entah kenapa minggu lalu akhirnya saya beli buku ini bersamaan dengan buku-buku self improvement lainnya untuk sepupu yang sedang “sakit mentalnya”. Karena masih dalam rangka Bulan Buku Nasional, diskonnya lumayan sih, ya untung saat itu ada diskon dan sedang punya uang untuk beli buku yak. Kalau ngga, nampaknya film Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati naik layar saya baru akan baca deh hehehe..

Simak dulu deh sinopsis dan reviewnya di sini karena akan jadi pertimbangan juga untuk teman-teman yang mau beli atau pinjam saja hehe..

Sinopsis Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

seporsi mie ayam sebelum mati

Seorang Ale, pemuda single yang hidup di ibu kota sendirian karena merantau jauh dari kampung halamannya. Ia tinggal di apartemen yang cukup oke dan tidak bisa dikatakan sederhana juga sih. 

Ale adalah pekerja kantoran yang punya tubuh gempal, besar, tambun, dan keling alias berkulit gelap. Makin gelap karena ia tidak maksimal merawat tubuhnya juga mau untuk berubah agar hidup lebih sehat. Saya katakan tidak mau berubah karena ia tetap merokok, kesehariannya juga ia habiskan di dalam apartemen, jarang berolahraga, jadi mungkin itu kondisi yang ia buat sendiri ya?

Ale merasa ia tak punya teman di kantor, karena ia sadar diri bahwa ia punya bau badan tak sedap. Ia juga tahu teman-temannya menghindarinya karena memang ia tak sedap dipandang mata. Oleh karena itu ia terus menyendiri dan jarang ngobrol dengan orang lain.

Ale merasa tidak punya siapa-siapa. Ale juga merasa tidak pernah menjadi prioritas dalam hidup siapapun. Kadang orang akan mengatakan bahwa ia sangat berharga, tapi kemudian Ale tersadar bahwa itu hanya hiburan belaka. Karena bahkan teman yang ia anggap dekat pun ternyata mengkhianatinya. Saat Ale difitnah pun, tidak ada orang yang mau mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu.

Kemudian di suatu malam, ia membayangkan, kalau kelak ia mati di kamar apartemen tempat ia tinggal, butuh berapa lama sampai orang-orang menyadari bahwa ia sudah tiada?

Jika besok aku mati, apakah kantorku akan mengirimkan karangan bunga lalu membuka lowongan pekerjaan baru keesokan harinya? Apakah Ibuku akan khawatir? Apakah keluargaku akan bersedih di waktu yang lama? Atau bahkan mereka hanya sedih sebentar lalu berhenti mengunjungi tempat aku disemayamkan karena terlalu sibuk dengan hidupnya masing-masing?

Hingga akhirnya Ale merasa sangat putus asa dengan apa yang ia lalui dari hari ke hari. Ale sudah pernah ke psikiater namun ternyata obat-obatan pun tetap tidak bisa membuatnya merasa lebih baik.

Suatu hari, Ale memutuskan untuk bunuh diri dalam waktu 24 jam ke depan. Namun sebelum mengakhiri hidupnya, ia ingin ditemukan dalam kondisi yang baik. Ia mandi, membersihkan diri, menggunakan parfum dan mist yang sangat banyak, juga mengenakan pakaian terbaiknya.

Ale juga membereskan kamarnya yang sudah lama sekali tidak ia lakukan. Ia mengganti sprei, mengelap debu tebal di jendela kamar dan pintu balkon apartemennya, juga membuang sampah yang menurutnya sudah sangat menumpuk. Ia berpikir, setidaknya kondisinya akan lebih baik dan tidak jadi perbincangan ketika mayatnya ditemukan.

Tanpa terasa setengah hari ia lalui untuk beberes. Sampai akhirnya ia merasa lapar dan ingin menyantap seporsi mie ayam di dekat apartemennya. Namun yang terjadi adalah gerobak mie ayam yang biasa ia temui tutup! Bahkan semesta pun tak pernah mendukungnya untuk menikmati mie ayam sebelum ia mati.

Ale sangat geram dan merasa apa yang dilakukannya akan sia-sia jika seporsi mie ayam saja tidak bisa ia nikmati untuk terakhir kalinya. Dalam perjalanan kembali ke apartemen, Ale berjumpa dengan seseorang yang mendorong gerobak mie ayam langganannya itu. Siapa sangka orang itu bilang bahwa mie ayam sudah tidak dijual lagi.

Karena penasaran, Ale mengikuti arahan orang tersebut untuk singgah ke rumah penjual mie ayam. Siapa sangka ternyata penjual mie ayam langganannya tersebut sudah meninggal kemarin, dan hari itu juga akan dikebumikan. Ale bingung dan makin marah. Bahkan untuk seporsi mie ayam saja ia tak bisa mendapatkannya?

Sang anak penjual mie ayam berjanji akan membuatkan Ale seporsi mie ayam besok pagi. Namun dalam perjalanannya pulang ke apartemen itu, Ale mengalami banyak hal. Hingga seporsi mie ayam itu harus tertunda untuk waktu yang cukup lama. Apa saja yang dialami Ale sebelum ia memutuskan untuk mati? Teman-teman bisa baca selengkapnya lewat novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati ya!

Review Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati Karya Brian Khrisna

seporsi mie ayam sebelum mati

Bab awal di novel ini memang agak menye-menye yah, apalagi untuk Ibu-Ibu seperti saya yang sudah memasuki usia kepala tiga. Rasanya penderitaan yang diceritakan nampak “biasa” saja, dan sempat berpikir gitu aja kok sampe pingin mati sih? Padahal kamu bisa coba peluang lain, kamu bisa coba hal baru dan perluas relasimu. Yes, memang terdengar seperti Ibu-Ibu yang menceramahi anak remaja labil dan mengecilkan perasaannya.

Tapi begitulah ketika saya membaca satu bab awal dari novel ini.

Mungkin karena sudah sangat sering mendengar permasalahan serupa. Lalu kemudian saya tersadar bahwa tidak semua orang mampu bertahan dan tiap orang memiliki titik “lenting” yang berbeda. Pemicunya mungkin sama, tapi kita tidak tahu seberapa berat hari yang dilaluinya, dan mungkin belum semua perasaannya mampu ia ceritakan bukan? Jadi rasanya ngga baik untuk melabeli orang yang sedang “mengeluhkan hidupnya” dalam novel ini sebagai lelaki pengecut?

Sampai akhirnya sampai di bab kedua, ketiga dan seterusnya, ceritanya makin nagih. Karena sebenarnya saya penasaran, apa yang akan dia alami selanjutnya? Apakah jadi bunuh diri? Apakah dia akan mengejar mie ayam sungguhan sebelum memutuskan untuk mati?

Si tokoh utama, Ale, menemui banyak orang dan kejadian yang juga ikut menampar saya untuk bersyukur atas apa yang dikaruniakan Allah pada kami. Baik berupa nikmat orangtua yang lengkap, ilmu, kesehatan, hingga bisa membeli apa saja saat ingin. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan itu, tapi kita sering melewatkan dan justru fokus pada hal-hal yang membuat kita bersedih dan menderita.

Menurut saya Brian Krishna berhasil membawa saya sebagai pembaca menyelami kehidupan yang mungkin belum pernah kita lihat, apalagi kita rasakan. Hidup yang menurut kita berat, ternyata ada yang jauh lebih berat lagi dan mereka tidak menyerah untuk menghadapinya.

Novel ini menurut saya cocok untuk teman-teman yang sedang dalam kondisi senang maupun sedih. Saat senang kita akan diingatkan untuk bersyukur dan saat sedih, kita diingatkan untuk bersabar. Karena Allah tidak akan mungkin meninggalkan masalah tanpa ada solusinya.

Jadi, tetap semangat menjalani hidup yaa! Yuk tengok orang-orang di sekitarmu, renungi dan hangatkan hati bersama mereka.

Semoga artikel ini bermanfaat yaa!

seporsi mie ayam sebelum mati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *