Berada dalam situasi kesulitan finansial, membuat saya untuk mau-tidak-mau, menjual barang-barang berharga yang sekiranya masih layak untuk dijual.
Dari sedikit barang berharga yang saya punya, buku menjadi satu-satunya barang yang masih masuk untuk kategori bisa dan layak jual.
Buku-buku yang saya jual pada saat itu sebenarnya adalah buku-buku kesayangan saya. Ada buku karya penulis favorit, buku hadiah giveaway—yang harganya lumayan mahal bagi saya yang termasuk sobat misqueen—, dan ada juga buku ngehits yang bertanda tangan penulisnya.
Menyesal Menjual Koleksi Buku?
Buku-buku itu saya jual dengan harga murah tentu saja. Bahkan untuk buku yang masih tersegel pun, saya jual dengan harga lebih murah dari harga aslinya. Tujuannya tentu saja agar orang-orang tertarik untuk membelinya. Syukur-syukur ada yang ngeborong.
Anehnya, ketika semua buku tersebut laku, ada perasaan aneh yang muncul dalam hati saya. Semacam perasaan sedih dan tidak rela, tetapi tetap dipaksa untuk harus ikhlas. Namanya juga lagi butuh uang.
Ketika buku-buku itu saya packing untuk dikirim ke pemilik barunya. Kenangan-kenangan bersama mereka (buku) terputar kembali dalam ingatan saya.
Bagaimana saya berpikir untuk mencari jawaban sekreatif mungkin biar bisa menang dan bagaimana saya harus nabung dulu untuk bisa membeli buku dari karya penulis favorit saya, adalah dua hal yang saat mengingatnya, membuat aktivitas packing buku jadi satu hal yang dramatis. Melow-melow gimana gitu.
Apalagi pas ingat salah satu buku yang ada tanda tangan penulisnya, perjuangan dan cerita untuk dapetin tanda tangan itu tidak kalah ngebaperinnya.
Ceritanya waktu itu saya menghadiri MIWF (Makassar International Writers Festival). Di sana saya akhirnya bertemu dengan salah satu penulis favorit saya. Namanya ketemu idola, minta tanda tangan rasanya adalah satu hal yang lumrah. Namun, untuk bisa dapat tanda tangan saya harus antre. Mana antreannya panjang pula.
Setelah cukup lama antre, tibalah giliran saya. Alih-alih maju dan menyodorkan buku karya penulis tersebut untuk ditandatangani, saya malah berdiri mematung. Bengong. Tidak percaya kalau jarak saya dengan Sang idola sudah sedekat itu.
Orang-orang yang antre di belakang saya sontak teriak, “maju ki’ ehh” (Anda maju dong). Mendengar suara-suara terdebut, saya jadi kaget. Lebih tepatnya kaget bercampur malu. Saking malunya, saya sampai lupa minta foto bareng. Huhuhu.
Mengingat kenangan-kenangan itu, saya jadi sempat ragu untuk jualan. Bukunya mungkin bisa saya beli lagi suatu saat, tetapi cerita bersama buku itu? Belum tentu.
Apalagi beberapa dari buku-buku tersebut pernah menemani saya saat lagi galau-galaunya. Duh…
Akan tetapi, apa boleh buat? Butuh duit mengalahkan segala keraguan yang muncul.
Drama perpisahan dengan buku-buku kesayangan saya itu tidak selesai sampai di situ saja. Ketika kemudian buku-buku tersebut saya kirim, datanglah yang namanya over thinking.
Saya jadi mempertanyakan bagaimana nasib buku-buku tersebut bersama pemilik barunya. Apakan akan diurus dengan baik sebagaimana selama ini saya memperlakukan mereka (buku)?
Hadehhh … terlalu berlebihan memang apa yang saya pikirkan. Namanya buku sudah dibeli, ya terserah pemilik barunya mau gimana-gimana.
Saya mestinya bersyukur, dalam keadaan seperti sekarang ini, jelas sekali buku menjadi prioritas ke sekian untuk dibeli. Namun, ketika saya jualin buku koleksi pribadi saya, masih ada yang mau beli.
Bisa saja mereka sebenarnya lagi nggak butuh buku, mereka beli karena niatnya memang mau bantuin saya aja gitu. Iya, kan?
Nah, itulah kemudian yang saya pikirkan untuk menghibur diri saya sendiri biar nggak galau-galau amat berpisah sama buku kesayangan.
Ya, namanya juga perpisahan, meskipun dengan cara yang baik-baik saja, tetap saja meninggalkan perasaan aneh.
Jadi, menurut kalian, galau setelah menjual buku-buku kesayangan itu, wajar nggak sih? Kalau menurut saya sih iya, hehehe.
Pernah ngga teman-teman menjual koleksi buku lalu menyesalinya? Bagi pengalamanmu di kolom komentar yuk!
Author :
Seorang ibu yang suka membaca dan sedang belajar menulis. Blasteran Jawa-Toraja, yang bisa disapa lewat IG dan Twitter @utamyyningsih