Manusia Tanpa Sekolah adalah salah satu buku yang begitu saya inginkan karena mengusung nama Toto Rahardjo di dalamnya. Marketingnya cukup menarik, mengusung kisah beberapa orang yang “terkendala” terkait sistem pendidikan yang katanya “sudah merdeka”.
Saat itu saya membacanya dari laman instagram Bentang Pustaka. Teringat dengan sekolah kita saat ini yang sepertinya tak habis-habis permasalahannya. Padahal menterinya setiap 5 tahun sekali ganti. Harusnya semakin berbenah ya ngga?
Sekolah Kita Saat Ini
Tentu teman-teman masih ingat bukan dengan kasus salah seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama yang dijebloskan ke dalam penjara karena membakar sekolahnya?
Padahal jika kita mau untuk memahami dan sedikit membuka diri, sang anak membakar sekolahnya lantaran kesal karena ia sudah menjadi korban bully dalam waktu yang cukup lama. Namun apa yang terjadi setelah ia mengadu ke guru? Jangankan direspon, guru bahkan melabelinya sebagai “anak caper”.
Padahal bullying bukan kasus biasa yang akan selesai jika ditanggapi dengan “ah ngga apa-apa, temanmu cuma becanda”. Kita yang mungkin tidak pernah berada di posisi sebagai korban bullying, bisa saja dengan mudahnya mengatakan demikian.
Namun sebagai korban bullying, tentu saja mereka tidak dalam kondisi baik-baik saja. Jika sang anak telah berani “mengadukan” permasalahannya pada kita, bukankah artinya ia sudah percaya pada kita sebagai orang dewasa yang mau dan mampu membantu permasalahnnya?
Apa jadinya kalau kita menolaknya, atau bahkan justru menyudutkannya? Inilah gambaran sekolah kita, sekolah di Indonesia umumnya. Hampir di setiap sekolah selalu kita jumpai korban dan pelaku bullying. Kebiasaan tersebut lekat sekali dalam kehidupan anak-anak sekolah saat ini.
Apa yang salah? Guru-guru kita atau sistem pendidikan kita?
Review Manusia Tanpa Sekolah
Membaca Manusia Tanpa Sekolah ini saya seolah mendengar Kakek, Pakdhe, dan Ayah saya bercerita. Saya juga merasa dan berpikir bahwa selama sekolah dari TK hingga SMA, lalu lanjut ke tingkat strata 1, ada beberapa materi yang ternyata memang tak bisa saya praktikkan untuk kehidupan sehari-hari, bahkan di masa depan.
Namun sekolah tak sepenuhnya salah. Melalui pembelajaran lewat sekolah, Ibu saya mengatakan tentang pilihannya soal “membeli lingkungan”. Jadi sekolah tidak hanya tempat untuk belajar soal akademik, tapi juga bagaimana saya bersosialisasi dengan teman-teman yang lain di lingkungan yang mendukung.
Mendukung untuk apa? Tentu saja mendukung untuk sekolah dan belajar tentang banyak hal.
Meskipun ada begitu banyak konteks pendidikan yang disebut oleh penulis dalam buku ini, namun saya merasa masih ada guru-guru ala Finlandia. Ya, guru-guru yang lebih memperhatikan potensi anak, yang tidak hanya menjejalkan materi dari buku pelajaran, tapi juga melatih kami untuk berpikir kritis dan menyelesaikan solusi dari permasalahan hidup.
Jadi tidak sepenuhnya saya setuju atas apa yang ditulis dalam buku ini. Meskipun begitu, kita perlu banget menyadari bahwa pendidikan di Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Maka tak heran sekarang ada begitu banyak yang memilih home schooling daripada harus ikut masuk ke dalam industri yang dinamakan sekolah.
Dari konteks pendidikan, Toto Rahardjo memandang pendidikan semestinya memosisikan subjek yang sadar (cognitive) dan objek yang tersadari (cognazible) secara seimbang. Namun, keseimbangan itu ternyata belum dipraktikkan sistem pendidikan selama ini dan Freire menyebut pendidikan yang ada masih serupa bank (banking concept of education). Sebagaimana pendidikan ala bank, subjek didik hanya dijejali informasi atau pengetahuan yang diharapkan nanti dapat memberikan surplus berlipat ganda. (Halaman 94)
Fakta Tentang Pendidikan Gaya Bank Menurut Freire
Dalam buku Manusia Tanpa Sekolah disebutkan bahwa ada tujuh ciri sistem pendidikan gaya bank menurut Freire yang perlu menjadi catatan untuk kita semua.
- Pertama, guru bertindak dan murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai tindakan guru
- Kedua, guru memilih serta memaksakan pilihannya dan murid harus menuruti permintaan tersebut.
- Ketiga, guru mengatur dan murid diatur
- Keempat, guru berbicara dan murid mendengarkan secara pasif.
- Kelima, guru berpikir dan murid dipikirkan sesuai imaji kurikulum.
- Keenam, guru tahu segala sesuatu dan murid dianggap tak tahu apa-apa.
- Ketujuh, guru mengajar dan murid sekadar belajar.
Lalu ditegaskan oleh Toto Rahardjo bahwa pendidikan harus menjadi medium dan proses pembebasan, bukan malah melanggengkan praktik dominasi dan penguasaan.
Lalu ketika menjadi proses pembebasan, pendidikan secara kebudayaan tak akan terjebak kepada penjinakan atau social and cultural domestication. Hal yang penting pula pendidikan harus kontekstual, yakni sesuai dengan masalah empiris atau kenyataan yang dihadapi oleh manusia. Senada dengan model pendidikan Freire, yakni problem-posing education.
Saya pernah menulis ini dalam skripsi saya di tahun 2012. Meskipun namanya saat itu adalah problem based education. Pembelajaran yang didasarkan pada permasalahan yang terjadi di sekitar. Saya bersyukur meskipun saat itu saya hanya bisa mempraktikkan 3 bulan saja metode ini di tengah-tengah siswa/siswi Sekolah Menengah Pertama.
Murid-murid saat itu begitu antusias dan melihat saya sebagai “kawan belajar” mereka. Terbukti sampai sekarang, saya dan murid yang dulu masih SMP masih saling berkomunikasi, berbalas pesan di sosial media, hingga bertukar cerita meskipun dibatasi oleh layar gawai.
Kadang saya rindu mengajar, namun saya juga enggan kembali ke sekolah karena belum mampu memenuhi ekspektasi kurikulum di Indonesia. Rasanya memang saya tidak punya kekuatan sebesar Toto Rahardjo dan juga Rony K. Pratama yang terus berjuang untuk masa depan pendidikan di Indonesia, hehee. Namun setidaknya, melalui tulisan ini saya ingin banyak orang memikirkan kembali konsep pendidikan terbaik untuk anak-anak mereka.
Jadi apakah benar manusia tak butuh sekolah? Mungkin setelah membaca Manusia Tanpa Sekolah ini teman buku akan berpikir demikian. Udahlah home schooling aja, tapi lalu keesokan harinya kita akan disadarkan oleh realita bahwa ya, kita berada di situasi yang pelik. Tak sesederhana mengucapkan, manusia tak butuh sekolah. Karena sistem kita sudah terbangun dengan itu.
Kenyataan praktik di sekolah, belajar untuk menyiapkan nilai ujian terbaik. Orang sangat mafhum bahwa anak disekolahkan agar ia menjadi pintar. Namun, kita sendiri juga tahu bahwa selama ini posisi sekolah di jenjang apapun selalu difungsikan sebatas seperti penitipan anak.
Orang tua lupa kalau hak dan kesempatan belajar sang anak tetap berada di pundaknya. Masa belajar dari rumah seperti masa-masa Covid-19 kemarin seharusnya merupakan momen penting untuk mengembalikan kedudukan filsafat belajar dan pedagogi yang selama ini terlanjur rajin dijargonkan.
Kalau kata Mbah Salam, “Belajar merdeka saja belum, kok mau Merdeka Belajar?”
Semoga review Manusia Tanpa Sekolah ini bermanfaat dan bisa menambah wawasanmu ya!
Baca juga ulasan lain di sini ya!