Home » Review Pasung Jiwa, Kisah Sasa dan Sasana Yang Terperangkap

Review Pasung Jiwa, Kisah Sasa dan Sasana Yang Terperangkap

review pasung jiwa

Ibu bertanya tentang Sasa. Kapan ia mulai datang, kenapa dia datang dan kenapa ia terus ada hingga sekarang. Aku ceritakan awal mula pertemuanku dengan Cak Jek, semua yang kulakukan bersama Cak Jek, bagaimana Sasa pertama pertama kali datang, hingga kemudian aku merasa bersama Sasa-lah aku merasa paling nyaman.

Ibu bertanya, bagaimana dengan sebelumnya? Bagaimana saat aku masih tinggal bersama mereka? Bukankah semua berjalan wajar-wajar saja saat itu?

Aku menggeleng. Kataku, aku terpenjara dalam tubuhku sendiri. Aku selalu merasa berada di tempat yang salah. Aku begitu iri pada Melati. Aku membenci tubuhku sendiri.

Paragraf di atas adalah potongan kisah Sasana, seorang laki-laki yang dibesarkan di tengah keluarga yang harmonis, utuh, berpendidikan, dan juga lingkungan yang nyaman. Namun, Sasana selalu mempertanyakan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang datang sendiri tanpa diminta, bahkan Ibunya melarangnya untuk memelihara rasa itu.

Klimaksnya, Ibunya bahkan memasukkan Sasana ke sekolah khusus laki-laki dengan background agama yang kuat. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Sasana justru mengalami banyak tekanan, baik fisik maupun mental.

Malangnya Sasana, selalu berada di lingkungan yang “mengerikan”. Hingga ia “terperangkap” dalam sebuah tragedi memilukan, membuatnya mengalami trauma yang mendalam. Saat Sasana ingin “kembali” pada orangtuanya, rupanya mereka tak bisa menerima Sasana sepenuhnya. Setelah berpikir panjang, Sasana dimasukkan ke dalam Rumah Sakit Jiwa, untuk memulihkan jiwanya, katanya.

Namun siapa sangka, di sana Sasana justru menyaksikan banyak sekali kejadian menyedihkan. Jiwanya terguncang, ingin segera keluar dari tempat buruk itu setiap harinya, namun sayang tak pernah ada jalan. Akankah Sasana bisa menemukan “dirinya” lagi seutuhnya? Bisakah Sasana kembali seperti dulu merasakan kebebasan dan mengikuti kehendak dirinya sendiri?

Review Pasung Jiwa Karya Okky Madasari

review pasung jiwa

Okky Madasari mengemukakan pertanyaan-pertanyaan besar tentang manusia dan kemanusiaan dalam novel ini.

Apa itu kebebasan?

Apakah kehendak bebas benar-benar ada?

Apakah manusia bebas benar-benar ada?

Melalui dua tokoh utama, Sasana dan Jaka Wani, buku ini menghadirkan pergulatan manusia dalam mencari kebebasan dan melepaskan diri dari segala kungkungan tubuh dan pikiran, kungkungan tradisi dan keluarga, kungkungan norma dan agama, hingga dominasi ekonomi dan belenggu kekuasaan.

Sasana dalam buku ini digambarkan sebagai seorang laki-laki yang tengah kebingungan dengan jati dirinya sendiri. Sayangnya, saat itu kedua orangtuanya tak hadir dalam keputusannya untuk memilih di antara dilema yang dirasakan. Orangtuanya justru sibuk dengan akademik Sasana.

Belajar dari kedua orangtua Sasana, sebagai orangtua kita bisa mengevaluasi diri bahwa sebenarnya anak-anak butuh didengarkan. Mereka tidak butuh apapun kecuali kehadiran kita. Saat kita hadir dan ada untuk mereka, saat itulah sebenarnya anak-anak meminta pendapat dan membutuhkan arahan kita juga sebagai orangtuanya.

Apalagi di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tantangan, hubungan antara orangtua dan anak tidak lagi cukup hanya dengan “memberi” dan “mengasuh”. Ada satu kunci yang semakin penting untuk membangun keluarga yang sehat: keterbukaan.

Kalau boleh berandai-andai, Sasana akan punya “pegangan” yang kuat dan kokoh ketika Ayah dan Ibunya mau mendengarkan keinginannya sendiri. Mau mendengarkan Sasana tentang apa yang dialaminya saat melihat konser dangdut, juga mau mendengarkan saat terjadi keanehan dalam dirinya sejak awal.

Mendengarkan saja, tidak buru-buru menghakimi. Sehingga ketika Sasana merasa nyaman dan tidak ada bahaya di dalam sana, dengan sendirinya saya yakin Sasana akan mendengarkan saran dari kedua orangtuanya.

Sebagai pelajaran juga untuk saya sebagai orangtua, kadang kita ingin yang terbaik untuk anak, apapun itu. Mulai dari sekolah, memilihkan pergaulan untuknya, makanan, bahkan hingga selera musik. Namun kita lupa bahwa anak-anak tidak hidup di zaman kita, mereka juga bukan miniatur dari kita, mereka adalah jiwa yang punya keinginannya sendiri.

Anak yang terbiasa terbuka pada orangtuanya lebih mungkin bercerita saat mereka mengalami masalah di luar rumah, misalnya perundungan, tekanan teman sebaya, atau godaan perilaku berisiko. Adanya keterbukaan akan membuat orangtua dapat memberikan arahan dan dukungan tepat waktu sebelum masalah berkembang menjadi serius.

Apa yang terjadi pada Sasana pasti terjadi juga pada anak-anak lainnya di luar sana. Mereka ingin kembali ke tempat yang “aman” dan nyaman, serta bisa menjadi dirinya sendiri, namun kadang mereka tidak diberi kesempatan.

Membaca Pasung Jiwa karya Okky Madasari ini benar-benar membuat saya sadar bahwa “belenggu” yang terjadi pada Sasana sebenarnya adalah belenggu yang diciptakan sendiri oleh orang-orang yang dicintainya dan juga mencintainya.

Juga pada kasus Jawa Weni yang terbelenggu oleh kondisi ekonomi dan sosial. Banyak orang dibungkam dengan jabatan dan uang. Banyak juga yang terpaksa merelakan “masa depannya” untuk bertahan hidup. Tak sedikit pula yang berkorban nyawa agar keluarganya bisa makan. Sebenarnya, sinyal bahwa negeri ini sedang sakit sudah terpupuk sejak lama, sejak belenggu pendidikan itu terbentang nyata di hadapan kita.

Sebagaimana kita tahu, orang-orang yang tidak berpendidikan akan mudah untuk dipengaruhi dan dibelokkan kepercayaannya. Sehingga apapun yang diperintahkan oleh sosok yang dikaguminya akan dituruti.

Isi Novel Pasung Jiwa ini sangat kompleks, membuat kita semakin yakin dan sadar bahwa tahun ini, tahun ke-80 Indonesia Merdeka, ternyata kita masih belum benar-benar merdeka. Pasung Jiwa menjadi pemantik bagi kita yang sedang berpikir tentang solusi melepas belenggu yang membuat bangsa ini terus jalan di tempat.

Semoga artikel ini bermanfaat ya!

Baca juga ulasan buku pilihan lainnya di sini yuk~

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *