Home » Maryam, Pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012 Prosa

Maryam, Pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012 Prosa

Maryam Okky Madasari

Kami hanya ingin pulang ke rumah kami sendiri. Rumah yang kami beli dengan uang kami sendiri. Rumah yang berhasil kami miliki lagi dengan susah payah, setelah dulu pernah diusir dari kampung-kampung kami. Rumah itu masih ada di sana. Sebagian ada yang hancur, bekas terbakar dimana-mana. Genteng dan tembok yang tak lagi utuh. Tapi tidak apa-apa. Kami mau menerimanya apa adanya. Kami akan memperbaiki sendiri, dengan uang dan tenaga kami sendiri. Kami hanya ingin bisa pulang dan segera tinggal di rumah kami sendiri. Hidup aman. Tak ada lagi yang menyerang. Biarlah yang dulu kami lupakan. Tak ada dendam pada orang-orang yang pernah mengusir dan menyakiti kami. Yang penting bagi kami, hari-hari ke depan kami bisa hidup aman dan tenteram. -Maryam Hayati-

Maryam Okky Madasari

Maryam adalah anak yang tidak bisa memilih “lahir di keluarga mana”. Sehingga ketika teman-temannya, bahkan gurunya mengatakan bahwa agamanya sesat, kadang ia ingin pindah agama saja sehingga segalanya akan lebih mudah.

Meskipun begitu, Maryam tumbuh di tengah keluarga yang harmonis, saling menyayangi dan mengasihi, serta orangtua yang melek pendidikan. Sehingga setelah lulus SMA, Maryam diprioritaskan untuk melanjutkan kuliah sesuai dengan keinginannya.

Dalam novel karya Okky Madasari ini, kita akan melihat kehidupan seorang minoritas yang “tidak biasa”. Minoritas di Indonesia yang saat itu dianggap keberadaannya sebagai ancaman dan penuh bahaya.

Orangtua Maryam harus terusir dari tanah dan rumah miliknya sendiri. Tanah dan rumah yang diwariskan oleh kakeknya. Dibangun dengan keringat dan kerja keras tanpa henti siang dan malam. Orangtua Maryam terpaksa harus meninggalkan rumah dan usahanya di Desa itu jika tidak ingin dilempari batu atau dibakar.

Namun setelah kepindahannya pun, kompleks kecil yang dikhususkan untuk ditinggali orang-orang Ahmadi seperti orangtua Maryam saat itu juga ikut direnggut. Mereka dipaksa pergi jika ingin selamat.

Review Maryam Karya Okky Madasari

Membaca Maryam kami jadi teringat bagaimana terusirnya orang-orang Palestina dari tanah air mereka sendiri. Ternyata tidak jauh dari tanah suci umat Muslim, saudara sebangsa kita pun juga mengalaminya. Mereka terpaksa meninggalkan segalanya. Bisa dibayangkan berat sekali meninggalkan rumah, harta benda, dan usaha yang sudah kita rintis dari nol karena diusir oleh saudara satu bangsa.

Dulu kami hanya mendengar dari berita bahwa orang-orang Ahmadi ini membuat sebuah kongres skala Nasional yang dihadiri oleh ribuan orang di salah satu kota di Jawa Barat. Lalu kongres tersebut dibubarkan paksa oleh masyarakat karena dianggap melukai umat Muslim dengan tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir. Mungkin, kalau Ahmadi berdiri sebagai agama baru, umat Muslim tidak akan terluka.

Namun yang terjadi adalah sebenarnya mereka saling melukai satu sama lain. Mereka lebih mementingkan ego masing-masing dan tidak membiarkan orang lain untuk merusak pagar-pagar yang sudah mereka bangun. Keilmuan yang luas sudah pasti akan memandang perbedaan sebagai fitrah dan tidak harus menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan sebuah masalah.

Membaca Maryam kami hanya berpikir, apakah tidak ada penyelesaian lain? Kenapa harus diusir dan dipersekusi? Kenapa harus membakar rumah-rumah? Padahal jiwa mereka sama berharganya dengan jiwa kita. Yang punya hak untuk bertempat tinggal di tanah air tercinta, juga punya hak pendidikan serta keadilan yang setara.

Membaca Maryam, teman-teman akan melihat sudut pandang lain. Kalau dulu kita hanya mendengar berita, membaca koran, dan melihat pengusiran tersebut dilakukan. Kini, kita bisa ikut merasakan penderitaan kaum Ahmadi yang terusir dari tanahnya sendiri.

Kita akan melihat bagaimana penuturan jamaahnya yang berusaha untuk tidak mengganggu sekitarnya, menjalani ibadah sebagaimana agama lainnya, dan juga berbuat baik pada sesama.

Maryam yang hidupnya terombang-ambing pasca perceraiannya dengan seorang lelaki yang membawanya “keluar” dari Ahmadi, satu waktu kembali ke kampung halamannya. Mendapati semua tak lagi sama dan mendengar keluarganya terusir dari kampung halamannya, Maryam akhirnya melakukan pencarian keluarganya yang “hilang”.

Ia pikir, hidupnya akan baik-baik saja setelah meninggalkan karirnya di Jakarta dan mulai mengabdikan diri untuk Ayah dan Ibunya, namun ternyata “serangan” terhadap Ahmadi tidak berhenti begitu saja. Untuk kali kedua, Maryam dan keluarganya harus mengalami pengusiran yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Sayangnya, mereka tak punya tempat untuk mengadu. Saat mereka diberi “tempat tinggal” oleh Pemerintah, tak ada solusi bagaimana cara mereka bisa kembali ke kampung halaman dan bebas melakukan ibadah sebagaimana umat lain beribadah.

Sebenarnya saya pun tak menyalahkan fatwa MUI bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Karena ia masih menisbahkan agama “Islam” sebagai agama mereka. Padahal sebagaimana kita tahu, Islam dalam syahadatnya berbunyi bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi penutup, Nabi terakhir utusan Allah.

Andai, Mirza Ghulam Ahmad tidak datang dan mengeklaim dirinya sendiri sebagai Nabi atau pembawa kabar gembira (versi mereka setelah ramai atas putusan fatwa MUI) sebagai bagian dari Islam, mungkin umat Islam lainnya tak akan terluka. Ini sih versi saya yaaa.. sebagai penganut agama Islam di Indonesia.

Belakangan setelah kejadian yang menghebohkan jagat Indonesia ini, kaum Ahmadi menyebut bahwa Nabi yang mereka maksud bukanlah seperti “Nabi Muhammad”, namun hanya sebagai pembawa kabar gembira atau sepenangkap saya (koreksi jika saya salah) bagi masyarakat yang saat ini sudah terpampang nyata kerusakannya.

Review novel Maryam Okky Madasari

Namun, sama seperti berita-berita buruk lain, maka cerita kaum Ahmadi di tahun-tahun itu lalu tenggelam begitu saja, tersapu oleh berita-berita lain yang tak kalah hebohnya. Melalui Maryam, kita akan tahu bagaimana mereka bertahan hidup, bagaimana mereka memperjuangkan keadilan.

Kami hanya bisa berdoa dan ikut menuliskan kegelisahan saat ini, semoga mereka bisa hidup aman, nyaman dan tentram sebagaimana kita semua hidup di negeri yang kita cintai ini.

Kalau mencari informasi melalui Google, kaum Ahmadiyah masih ada kok di Indonesia dan mereka hidup dengan damai, tanpa ancaman sebagaimana yang dulu mereka alami. Saya turut bersyukur jika mereka sudah bisa menemukan kedamaian dan jalan tengah hidup bermasyarakat, apalagi sebagai minoritas.

Semoga ulasan ini bermanfaat yaa!

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *