Home » Novel Lebih Senyap dari Bisikan, Terlalu Nyata Untuk Jadi Cerita Fiksi

Novel Lebih Senyap dari Bisikan, Terlalu Nyata Untuk Jadi Cerita Fiksi

lebih senyap dari bisikan

Sama seperti ketika menonton film ataupun mendengarkan sebuah lagu, membaca sebuah buku pun terkadang bisa bikin nangis. Cerita yang relate (baik itu sebagian maupun keseluruhan), terkadang memang memanggil perasaan-perasaan sentimentil yang sulit bahkan tidak bisa untuk dilawan. Ya, begitulah yang saya rasakan ketika membaca cerita Amara dan Baron dalam novel Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma.

Novel Lebih Senyap dari Bisikan

Dalam novel Lebih Senyap dari Bisikan, dikisahkan Amara dan Baron adalah pasangan kekasih yang kemudian memutuskan menikah meski tanpa restu dari orang tua Amara. Amara, si anak tunggal yang tentu saja sudah memasuki usia dewasa, memilih jalan hidupnya sendiri dengan memilih menikah dengan Baron dibanding mengikuti kemauan ibunya.

Tadinya, kehidupan rumah tangga mereka memang bahagia dan baik-baik saja. Meski masih punya masalah keuangan, setidaknya mereka saling menguatkan dengan rasa cinta. Sampai kemudian, serangan pertanyaan kapan hamil? mulai makin sering menghampiri dan dirasakan sebagai sesuatu yang sangat mengganggu.

Melihat lingkungan pertemanan mereka yang kebanyakan mulai fokus dengan keluarga kecil masing-masing, ditambah dengan pemikiran bahwa kehadiran anak bisa menjadi penghibur dalam rumah tangga, maka mulailah Amara dan Baron mencoba dan menjalani berbagai macam cara dan program hamil.

Namanya perjuangan tentu tidak mudah. Menariknya, dari upaya menuju hamil, menjalani kehamilan, sampai kemudian melahirkan, pembaca diajak merasakan dan melihat cerita Amara yang dinarasikan dengan kalimat-kalimat penuh kelakar. Maksud saya, membacanya memang bisa bikin ketawa, tetapi bagi yang juga pernah mengalaminya, rasanya tidak ada lucunya sama sekali. Yang ada malah meletihkan dan memprihatinkan.

Memasuki fase menjadi new mom, Amara mulai bertransformasi menjadi “zombie”. Begadang karena harus menyusui membuat penampilan Amara menjadi awut-awutan. Jangan tanya kondisi rumah, sebagaimana yang sudah diceritakan para ibu, bisa punya kesempatan untuk sekadar duduk santai pun adalah sesuatu yang langka.

Baron pun tidak banyak membantu Amara. Kalaupun membantu, ya, harus sesuai instruksi terlebih dulu, bukan atas dasar inisiatif diri sendiri. Seringkali malah tidak bisa mengambil keputusan sendiri untuk mengurus Yuki (anak Amara dan Baron).

Hingga kemudian, puncak konflik dalam rumah tangga mereka terjadi ketika Baron ketiban sial. Lebih tepatnya ketiban sial karena salah perhitungan dalam hal finansial. Meskipun mereka bukan pasangan miskin, tetapi petaka finansial yang terjadi, menarik paksa mereka untuk menghadapi kehidupan yang serbasulit.

Dalam situasi tersebut, Baron justru menjadi sosok asing bagi Amara. Baron tidak lagi bisa diajak bertukar pikiran, Baron terlalu ingin menunjukkan power-nya sebagai seorang laki-laki yang bisa mengatur dan mengatasi segalanya. Baron yang kharismatik dan penuh cinta berubah menjadi Baron yang pecundang. Dibanding berjalan bersama, Baron justru memilih meninggalkan rumah. Meninggalkan Amara yang rapuh bersama Yuki. Lalu kembali dengan sosoknya yang lebih menyeramkan.

lebih senyap dari bisikan

pict from : gramedia digital

Review Lebih Senyap dari Bisikan

Awalnya saya menikmati buku ini sebagai bacaan yang menyenangkan karena tebaran narasi jenaka di sana-sini. Namun, makin ke belakang bahkan hingga menuju akhir, saya malah merasa buku ini terlalu nyata untuk disebut sebagai fiksi. Ceritanya terasa dekat. Di beberapa bagian, saya malah melihat diri saya ada di dalamnya.

Amara mulai menghadapi konflik ketika ia dengan sadar memilih untuk menikah dengan Baron meski tanpa restu dari ibunya. Saya bukan ingin menyalahkan ataupun membenarkan keputusan Amara, tetapi yang terjadi adalah dengan mengambil keputusan yang bertentangan dengan keinginan ibunya, sudah ada masalah yang mendasari pernikahannya dengan Baron.

Lalu, sama seperti kehidupan rumah tangga lainnya, mereka mulai memasuki fase memuakkan atas basa-basi pertanyaan kapan isi? Meski sempat menyikapinya dengan santai, ujung-ujungnya Amara terganggu juga.

Perihal punya anak ini memang selalu menjadi pembahasan yang riuh di masyarakat. Mereka yang sudah menikah selalu “dipaksa” punya anak. Padahal, persoalan punya anak itu tidak sesederhana yang penting punya. Harus ada persiapan dalam banyak hal. Terutama fisik, mental, dan finansial. Anehnya lagi, pertanyaan tersebut lebih sering dibebankan kepada perempuan.

“Amara sudah isi belum, nih?” sambil memegang perutku. Namun, tidak ada yang memegang penis Baron sambil bertanya, “Baron sudah berhasil menghamili belum, nih?” (Hal.15).

Sampai ketika sang anak sudah lahir, beban mengurus anak lebih banyak ditumpahkan kepada perempuan sebagai seorang ibu. Keputusan kecil seperti menentukan baju apa yang akan dikenakan oleh sang bayi pun harus ibu yang turun tangan.

“Tidak pernahkah terlintas dalam pikirannya bahwa aku mungkin tidak memiliki insting yang cukup untuk tanggung jawab sebesar itu, bahwa aku mungkin juga masih meraba bagaimana caranya menjadi seorang ibu.” (Hal. 133).

Membaca kalimat di atas, rasanya seperti ada dentuman keras dalam hati saya. kalimat-kalimat tersebut sekali lagi, terlalu nyata dan terlalu menyentuh sisi personal saya dan mungkin para ibu lainnya di luar sana.

Namun, hal yang berbeda terjadi ketika masalah finansial itu terjadi. Tidak ada kesetaraan di dalamnya. Baron melangkah sesuai dengan apa yang ada di kepalanya. Ia tidak melibatkan Amara. Ia ingin memikul beban itu sendiri. Ketika Amara memutuskan untuk bekerja, ia diberi izin, tetapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Membaca rentetan kejutan-kejutan sepanjang perjalanan Amara menjalani permasalahan hidupnya, saya jadi merasa seperti diajak berlari tanpa berhenti. Lelah sekaligus menyesakkan. Puncaknya adalah ketika Amara yang sudah merasa gagal menjadi seorang ibu lalu melampiaskan rasa bersalahnya dengan satu perbuatan yang sangat meremukkan hati, rasanya saya jadi ingin menjerit saat membacanya.

Lebih Senyap dari Bisikan adalah buku yang tipis. Namun cerita di dalamnya begitu memikat. Bagi saya, ia bukan hanya sekadar cerita, ia adalah teman berbagi cerita. Setelah selesai membaca buku ini, saya ingin mengangkat topi untuk Andina Dwifatma sebagai penulis yang berhasil menuliskan cerita tentang problematika perempuan dalam kehidupan berumah tangga dengan gaya bahasa kekinian.

Terkadang, suara perempuan adalah suara yang tertahan. Suara yang Lebih Senyap dari Bisikan …

 

Author :

Seorang ibu yang suka membaca dan sedang belajar menulis. Blasteran Jawa-Toraja, yang bisa disapa lewat IG dan Twitter @utamyyningsih