Misi, adalah sebuah novel yang berkisah tentang keponakan Sersan Simon sekaligus cucu Ne’ Tabi menikam seorang mahasiswa dan ditangkap polisi di Enrekang.
Kabar itu datang dan menyebar di Pitueran dengan secepat kilat. Lengkap dengan bumbu hiperbola yang menyertainya. Pitueran sendiri adalah sebuah tempat terpencil di balik gunung yang memagari lembah sungai Sa’dan, Toraja.
Sinopsis Novel Misi
Tadinya, orang-orang menebak bahwa si pelaku adalah Nathan, cucu Ne’ Tabi yang sudah sangat tersohor dengan kenakalannya. Namun, tebakan itu salah. Pelakunya adalah Misi, cucu perempuan Ne’ Tabi yang justru dikenal sebagai anak perempuan yang pendiam. Sikapnya yang manis, membuat orang-orang tidak percaya bahwa Misi bisa melakukan hal semengerikan itu.
Sejak kecil, Misi diasuh oleh Ne’ Tabi, neneknya, di Pitueran. Dari beberapa anak yang dititipkan di sana, hanya Misi dan Salu yang tidak pernah dijemput oleh orang tua mereka. Orang tua Salu sudah meninggal. Maria, ibunya Misi juga sudah meninggal. Bapaknya? Misi tidak pernah tahu.
Beranjak dewasa, rasa ingin tahu yang besar akan latar belakang ibu dan ayahnya itulah yang membuat Misi nekat kabur dari Pitueran dan mencari tahu latar belakang bapaknya.
Namun, diperjalanan Misi mengalami pelecehan seksual dan nyaris menjadi korban perkosaan. Misi melawan, menikam laki-laki yang sudah lancang menyentuh tubuhnya.
Sejak kejadian itu, perjalanan hidup Misi berubah. Kedatangan seorang perempuan yang hadir bak “malaikat penolong”, membuat Misi dikirim pergi oleh neneknya. Miri merasa terusir.
Seketika, Misi yang tadinya tumbuh sebagai gadis bebas merdeka di Toraja, berubah menjadi seorang gadis yang terpenjara dalam kontrak kerja utang budi di negeri Eropa.
Di Eropa, ia sempat terlunta-lunta sebelum akhirnya bertemu dengan orang-orang yang “terbuang” yang mempengaruhi cara berpikinya.
Kelak, ia tahu, keputusan neneknya untuk mengirimnya pergi adalah sesuatu yang harusnya ia pahami sebagai caranya untuk “diselamatkan”.
Review Novel Misi
Misi, karya kedua Kak Rini (demikian Asmayani Kusrini biasa disapa) lagi-lagi mengangkat daerah di Sulawesi sebagai latar. Jika sebelumnya ia memakai budaya Bugis-Makassar, kali ini novelnya berlatar Toraja, salah satu kabupaten dan suku di Sulawesi Selatan.
Sama seperti novel sebelumnya, novel ini pun lekat dengan cerita perjalanan. Rasanya, ini sudah gaya khas Kak Rini. Menariknya perjalanan mengelilingi beberapa tempat di Eropa, menjadi begitu memikat dengan detail berupa tempat-tempat indah, makanan yang menggiurkan, dan lagu-lagu yang hadir seperti ost. Membaca buku ini, rasanya seperti diajak berpetualang sambil mendengar cerita dari seorang teman.
Dibanding Siri’, Misi memang lebih “tenang”. Konfliknya tidak sekelam Siri’. Namun, dalam novel ini isu kerentanan terhadap perempuan, begitu kuat disuarakan.
Dalam perjalanannya berkelana di tanah Eropa, Misi berkenalan dengan orang-orang yang masing-masing punya cerita. Salah satunya Rhandra. Siapa sangka, di balik sosoknya yang tampak mengesankan, ada trauma mendalam yang masih ia coba untuk berdamai. Rhandra adalah satu dari entah berapa banyak anak di dunia ini yang menjadi korban kekerasan seksual oleh orang terdekatnya sendiri.
Ketika kemudian rahasia orang tua Misi terkuak, kita kembali dikejutkan dengan satu hal yang sampai saat ini masih menjadi isu global. Sesuatu yang sangat menyakitkan; perdagangan manusia. Maria, ibunya Misi adalah salah satu perempuan yang dirampas hak kemanusiaannya.
Membaca novel ini, rasanya harus selalu siap dengan kejutan demi kejutan. Menariknya, meski memakai alur maju mundur, rasanya tidak sulit untuk menentukan di mana pembaca sedang dibawa.
Selain itu, meski unsur sejarah di dalamnya hanya singkat saja, tetapi sudah cukup untuk membangun pondasi cerita dan menguatkan latar belakang karakter Ne’ Tabi sebagai sosok yang begitu bersahaja dan berwibawa.
Memasukkan dialog berbahasa Toraja dan filosofi orang Toraja, jadi satu hal lain yang juga ikut membuat novel ini menarik. Rasanya menyenangkan sekali membaca buku berlatar Toraja yang mengenalkan hal lain selain rambu solo’.
Meski ada beberapa typo perihal penulisan kalimat dalam bahasa Toraja, novel ini tetap istimewa dengan tema besar berupa stigma dan ketidakadilan yang kerap kali menimpa kaum perempuan.
Jika ingin mencoba membaca karya penulis dengan gaya bercerita yang siap membawamu berjalan-jalan, karya Asmayani Kusrini bisa dijadikan pilihan.
Novelnya bikin penasaran, tetapi sayang untuk dilewatkan dengan terburu-buru.
Misi
Penulis : Asmayani Kusrini
Penerbit : Mekar Cipta Lestari
Tebal : 326 Halaman
Tahun Terbit : November 2021
Author : Seorang ibu yang suka membaca dan sedang belajar menulis. Blasteran Jawa-Toraja, yang bisa disapa lewat IG dan Twitter @utamyyningsih
Baca juga review novel berlatar Toraja lainnya di sini ya!